Rabu, 21 Agustus 2013

FLP; Antara Literasi, Organisasi, dan Partai Politik (3/3 - Selesai)

Ket.:

Di FLP, penulis belajar banyak hal.

Menulis fiksi non fiksi. Fiksi dapat meliputi puisi, cerpen, cerbung, novelette maupun novel. Non fiksi, penulis belajar membuat opini, artikel, surat pembaca. Eileen Rahman, narasumber EXPERT di rubrik Karir Kompas, pernah menulis hal menarik. Dalam dunia global seperti sekarang, dinding pembatas seringkali tertembus oleh interaksi kecanggihan teknologi. Orang membawa pekerjaan ke rumah : penulis menulis sembari mengajari anaknya belajar, editor mengedit karya sembari memasak, illustrator menemani istri mengobrol. Orang membawa pekerjaan rumah ke kantor : ibu menanyakan kemajuan prestasi si anak lewat email kepada guru, ayah mengadakan janji dengan konselor saat memimpin rapat, ayah dan ibu mengadakan janji akhir pekan lewat media sosial yang terkontak dengan anggota keluarga yang lain.

Batas-batas itu semakin cair, meski tetap harus memperhatikan profesionalisme. Dunia maya, menguntungkan, sekaligus sekali waktu berbalik menyerang bagai boomerang.

Di FLP, banyak manusia tergabung. Yang pandai baca Quran, yang belum bisa baca Iqro. Yang punya twitter, yang belum bisa meng- email. Yang sudah punya buku, yang masih tersendat buat outline. Yang beranak banyak, yang masih jomblo keren. Yang Muhammadiyah, NU, salafi, jamaah tabligh atau dari jamaah lain. Yang partai X,Y, Z atau golput.

Seringkali dalam diskusi karya, teman-teman saling menyerang.

“Dakwah jangan masjid dan jilbab doang dong!”

“Yang pakai jilbab penulisnya aja, karyanya tetap harus universal.’

“Eh, kita kan nulis ada idealismenya?”

“Biarin karyaku nggak laku, yang penting dapat pahala.”

“Lho, penulis juga harus bicara entrepreneur, gak bisa kejual bukunya, gimana bsia bertahan di dunia literasi?”

“Literasi sudah masuk dunia hiburan, jadi harus menyesuaikan…”

Diskusi seru, hangat, kadang saling memojokkan.

Tapi di rumah ini, di FLP, dengan denyut literasi, kita menemukan cara menyatukan kembali langkah kita yang sesekali berlawanan arah. Bahwa kita mencintai negeri ini, bahwa kita ingin indeks pendidikan dan kualitas manusia Indonesia meningkat, salah satunya dengan kegemaran membaca. Apalagi jika diikuti dengan kesukaan menulis, alangkah bermartabatnya!

Jika ada orang yang berpikir pragmatis, bahwa ia bergabung dengan FLP supaya lekas tenar dan terbit buku, silakan. Jika orang berpikir bergabung di FLP agar memiliki *skill* di dunia kepenulisan, mengingat menulis dapat dilakukan siapa saja dan menjadi penghasilan *passive income*, silakan. Sepanjang tetap taat pada aturan, visi misi FLP.

Beberapa teman FLP memang demikian bergairah dengan ritme dakwah tertentu. Apalagi dunia literasi membutuhkan mental baja, daya tahan beton, daya lenting bagai pegas sehingga jika terinjak, justru melesat bebas ke angkasa! Di titik ini teman-teman biasanya membutuhkan penguatan ruhani, yang mereka dapatkan di majelis-majelis pengajian, di luar lingkaran FLP.

FLP sendiri sering dikaitkan dengan partai politik tertentu, melihat kinerja teman-teman.

Lebih banyak berjilbab, mengusung tema universalitas Islam, bekerja tanpa imbalan memadai; sering dianggap duplikasi atau analog dari partai X. Memang, ada teman-teman FLP yang berafiliasi kepada partai X dan sebagaimana kata Eileen Rahman, batas-batas pijakannya mencair. Selama ia professional, tak mengapa.

Di milis FLP sendiri, ada teman-teman yang bergitu bersemangat membahas partai dan admin dengan  bijak memutus diskusi bila dianggap sudah lewat dari jalur literasi.

Siapapun kita, bila berada di ranah seni, sastra, literasi, maka tema yang diusung memang jauh lebih universal dibanding sekat kepartaian. Bila seseorang telah menisbatkan dirinya dengan partai tertentu, hendaknya ia jauh lebih menjaga diri, karena bila ia mencoreng nama baik maka rusak nama FLP sekaligus rusak nama afiliasinya.

Dalam produk tulisan sendiri, teman-teman FLP yang menyukai ranah nonfiksi  akan mencoba gaya jurnalistik yang *cover both side*, tidak menyebarkan *hate speech* , tidak sekedar *cloning* dan copas, mencoba untuk menuliskan versi pendapatnya sendiri. Dalam tulisan, idealism penulis akan tampak jelas, terutama ranah non fiksi. Data dan fakta yang diajukan, akan merujuk pada lembaga dan seterusnya dapat ditelusuri. Teman-teman mahasiswa yang mulai melek politik akan mencoba menuliskan suksesi kampus, tema sosial semacam pronografi dan harga bawang merah bawang putih, hingga pesta demokrasi 2014. Semuanya belajar dengan gaya sendiri, versi visualisasi sendiri. Ada yang terlihat netral, ada yang terlihat sangat berpihak.

Di FLP, ranah literasi, kita mencoba membudidayakan menulis.

Menulis adalah tahapan yang lebih jauh dari membaca, sebab kita telah membaca, merenungkan, memaknai, menafsirkan ulang, menginterprtasi dan mencoba memproduksinya versi gaya alamiah kita sendiri.

FLP adalah payung besar yang menaungi siapapun yang bergiat di dunia literasi, tak peduli apapun afiliasinya. Mari bekerja sama atas hal-hal yang kita sepakati, dan menghargai apa yang menjadi titik perbedaan masing-masing.

0 komentar:

Posting Komentar